Blangkon Jogja - Haji merupakan rukun Islam yang wajib bagi
orang islam untuk menunaikannya jika memenuhi syarat. Salah satu syarat wajib
haji adalah mampu. Karena syarat ini tidak semua penduduk jawa pribumi dapat
memenuhi, menjadikan ibadah haji ini adalah ibadah yang didamba-dambakan setiap
orang, terlebih pada masa kolonial belanda.
Pada masa kolonial sekitar abad 19-an, terlahir istilah “Kaji Blangkon” yaitu istilah hajinya
orang jawa yang melakukan rukun hajinya
di Jawa. Seperti yang dilangsir di tirto.id menyebutkan asal mula terbentuknya
istilah “Kaji Blangkon”.
“Pada 1930-an, muncul
kepercayaan lokal yang yakin bahwa berziarah tujuh kali ke Masjid Demak (kini
di Jawa Tengah) akan sama nilainya dengan naik haji ke Mekah (Henri
Chamber-Loir dalam Encyclopedia van Nederlandch-Indie). Berdasarkan kepercayaan
ini, setiap 10 hari antara tanggal 1 sampai 10 Zulhijah (bulan ke-12 tahun
Hijriah), orang-orang akan berdatangan ke Demak untuk melakukan ziarah.”
Begitulah tulisan yang terdapat di tirto.id
Kepercayaan adanya Kaji Blangkon ini juga didukung oleh kondisi
saat masa kolonial, dimana untuk mencapai ke tanah Arab dibutuhkan waktu yang
sangat lama dan perbekalan yang banyak. Hal ini belum melihat kondisi keamaan
dan kebijakan pemerintah kolonial. Dengan demikian kepercayaan Kaji Blangkon mudah
menyebar di kalangan masyarakat terutama yang ingin menunaikan rukun Islam ke
lima.
Dalam setelah menyebarnya kepercayaan kaji blangkonini masyarakat
kategori tidak mampu banyak berbondong bondong melakukan ritual “haji” nya
Demak. ritual haji yang dilakukan mulai dari sholat berjamaah, mengaji Al-quran
hingga mengunjungi makam sunan kalijaga. Karena banyaknya orang yang datang
setiap bulan zulhijjah ini, mengundang penduduk untuk berjualan hingga
terciptalah pasar malam ketika bulan besar/ zulhijjah.
Dalam merahputih.com juga menyebutkan kritikan dari sebuah
majalah pada saat itu “Lantaran telah
menjamur, para peziarah memberi anjuran agar kiblat Mekkah diganti dengan
kiblat Demak dan naik haji ke Mekkah deganti dengan haji ke Demak, tulis surat
kabar Soera Oemoem tahun 1903”
Dari kepercayaan dahulu yang membolehkan ibadah haji di Demak
ini, hingga saat ini masih ada yang menghubungkan antara orang yang berziarah mengunjungi
Wali Songo akan mendapat tambahan nama awal “H” yang merupakan singkatan dari
kata haji.
Fenomena disamakannya satu wilayah dengan tanah suci ini
juga dijumpai di beberapa wilayah di Indonesia seperti di Sumatra, Sulawesi,
dan beberapa tempat lain. Begitulah gelar “Kaji Blangkon” yang mengkonotasikan
melakukan ritual haji namun berada di pulau jawa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar